Bangunan Padmasana di Bali
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesadaran berkesenian sudah
sangat mengental dan mentradisi dalam
kehidupan masyarakat Bali. Sikap berkesenian secara tulus sebagai
pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menjadi suatu tumpuan terciptanya
keseimbangan hidup manusia, antara alam, lingkungan sosial, dan dengan Tuhannya,
sebagai pencipta semua yang ada. Meresapnya konsep berkesenian sebagai wujud
rasa bhakti dalam memelihara
kedamaian hidup baik lahir maupun batin, melahirkan berbagai bentuk dan jenis kesenian
antara lain : seni patung, seni lukis,
seni ukir/kriya, seni arsitektur, seni tari, seni karawitan, dan seni suara,
yang mencerminkan hubungan manusia dengan alam lingkungannya (Gelebet, 1982 :
25).
Demikian pula halnya dengan
seni arsitektur, yang mencerminkan tiga unsur alam, yakni bhur loka, alam bawah, bwah
loka alam tengah, dan swah loka
alam atas. Perwujudannya berdasarkan konsep Triangga
yaitu ; nistama angga (bagian kaki), madya angga (bagian badan), utama angga, (bagian kepala). Berbagai
jenis kesenian berhubungan erat dengan agama merupakan satu kesatuan yang
terjalin erat sebagai wujud bhakti
kepada Tuhan. Dengan demikian pada setiap bangunan suci seperti pura, dan
pemerajan selalu dihiasi dengan ukiran yang menerapkan motif hias tradisional
Bali, yang terinspirasi dari bentuk-bentuk khayali dan bentuk-bentuk yang ada
di alam.
Di Bali pada suatu tempat suci
(Pura) biasanya dilengkapi dengan bangunan padmasana. Bangunan padmasana
memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat pemujaan atau sthana Sang Hyang
Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Bangunan padmasana pada suatu pura terletak di arah
airsanya, yaitu arah timur laut, yang
dipandang sebagai tempat Sanghyang Siwa Raditya, dan sangat disucikan oleh umat
Hindu. Kalau kita bandingkan dengan bangunan candi-candi yang ada di Jawa,
padmasana digambarkan dalam bentuk bunga teratai sebagai alas duduk patung
dewa. Gambar semacam ini tidak hanya kita temui pada bangunan candi yang ada di
Jawa, akan tetapi juga pada candi-candi
yang ada di India. (Cudamani, 1998 : 51).
Sementara itu, gambar bunga teratai sebagai
alas duduk patung dewa sangat jarang kita temui di Bali. Di Jawa alas duduk
dari perwujudan dewa berbentuk bunga padma, sedangkan di Bali alas banten
perwujudan itu berbentuk “lamak”. Lamak
biasanya terbuat dari perpaduan enau yaitu ron
dan ambu yang menggambarkan isi
dunia. Di dalam lamak tergambar bulan,
bintang, mahluk-mahluk, orang-orangan dan tumbuh-tumbuhan, sebagai simbol bahwa
Hyang Widhi itu di sthanakan di atas bumi dengan segala isinya (Titib, 2001 :
106). Dengan demikian Ida Sang Hyang Widhi bertahta di atas bumi ini kemudian
menjadi dasar bahwa bentuk padmasana di Bali berubah dari wujud bunga teratai
menjadi bentuk padmasana, seperti “singhasana”
(berbentuk kursi), yang bisa kita lihat saat ini (Ibid, 1998 : 52).
Konsep bangunan padmasana yang kita warisi
sampai saat ini di Bali berawal dari kedatangan seorang pendeta dari Kerajaan
Majapahit yaitu Danghyang Nirartha akhir abad ke 16 SM, yakni pada masa
pemerintahan Dalem Waturenggong. Sebelum beliau datang ke Bali, tempat suci
(Pura) belum dilengkapi padmasana. Hal ini dikuatkan oleh lontar Dvijendra Tattwa disebutkan bahwa pada
waktu, Danghyang Nirartha tiba di Bali, beliau merasakan memasuki mulut naga,
dan melihat ada bunga teratai (padma) yang sedang mekar tetapi sayang sarinya
tidak ada. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah di Bali agama Hindu sudah
berkembang dengan baik, akan tetapi pemujaan hanya ditujukan kepada dewa-dewa dan
roh leluhur sebagai manifestasi dari Hyang Widhi. Pemujaan yang hanya ditujukan
terhadap dewa-dewa dan roh leluhur inilah yang dimaksudkan beliau sebagai bunga
teratai tanpa sari. Beliau kemudian mengurangi penggunaan patung patung dewa
yang dipuja, tidak seperti yang ada sebelumnya, dimana pelinggih meru dan
gedong pada masa lalu hanya difungsikan sebagai pemujaan dewa-dewa dan roh
leluhur (Cudamani, 1998 : 51).
Bentuk bangunan padmasana hampir
sama dengan candi yang lengkap dengan pepalihan,
akan tetapi tidak mempunyai atap. Struktur bangunannya menerapkan konsep Triangga terdiri dari bagian kaki yang disebut nistama angga (tepas), bagian badan (madya
angga) atau batur, dan bagian
kepala (utama angga), yang juga disebut
sari. Bangunan padmasana di buat dalam bentuk ruang yang bervariasi dalam dimensi,
komposisi bidang-bidang pasangan, baik yang disusun dengan material batu padas,
batu bata, dan penerapan tata motif hias yang sudah disesuaikan (Gelebet, 1982
: 159).
Di Bali dalam membuat bangunan
selalu diberi hiasan ornamen, lebih-lebih tempat pemujaan, seperti halnya
padmasana yang dipandang sebagai simbol bumi. Motif hias yang diterapkan pada
bangunan padmasana, merupakan stilisasi dari bentuk-bentuk yang ada di alam,
merupakan ciptaan Tuhan, seperti batu-batuan, awan, api, air, tumbuh-tumbuhan, binatang,
manusia, dan mahluk-mahluk mitologi lainnya. Stilisasi dari bentuk-bentuk alam
dalam bentuk motif hias (ornamen) yang
diterapkan secara turun-tumurun dari generasi ke generasi, oleh masyarakat
Bali, kemudian dikenal dengan motif hias tradisional Bali. Penerapan motif hias
tradisional Bali pada bangunan padmasana disamping mengandung nilai-nilai
estetis, filosofis, juga nilai-nilai simbolis sesuai kepercayaan agama Hindu. Penerapan
motif-motif hias tersebut selalu mengikuti struktur/pepalihan yang terdapat pada bangunan padmasana.
1.2 Rumusan
Masalah
Dari uraian latar belakang
tersebut di atas, maka dapatlah dirumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimana struktur dan bentuk bangunan
padmasana?
2. Bagaimana struktur penerapan motif hias
tradisional Bali pada bangunan padmasana, terkait dengan
nilai-nilai estetis, filosofis, dan simbolisnya ?
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian
ini adalah :
1. Untuk mengetahui bentuk dan struktur
bangunan padmasana.
2. Untuk mengetahui struktur penerapan motif
hias tradisional Bali pada bangunan padmasana, terkait dengan nilai-nilai
estetis, filosofis, dan simbolis yang terkandung di dalamnya.
1.4
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai acuan dan sumber informasi
bagi masyarakat mengenai keberadaan suatu bangunan padmasana, jika ditinjau
dari struktur dan bentuknya, serta penerapan motif hias tradisional Bali, yang
bermakna estetis, filosofis, dan juga simbolis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Pura
Pada waktu pelaksanaan upacara seperti piodalan dan upacara lainnya, Tuhan
Yang Maha Esa, para dewa dan roh suci leluhur dimohom turun ke dunia untuk
bersthana di sthana yang sudah disediakan
yang disebut pura, dengan aneka nama, jenis, serta fungsi dari
pelinggihnya. Pura seperti halnya meru atau candi merupakan simbol dari kosmos,
sorga, atau kahayangan. Sorga atau kahayangan
digambarkan berada di puncak gunung Mahameru, oleh karena itu gambaran
candi atau pura merupakan replika dari gunung Mahameru tersebut (Titib, 2001 :
88).
Pada mulanya istilah pura
berasal dari kata Sansakerta yang berarti kota atau benteng, yang sekarang
berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi. Sebelum dipergunakannya kata
pura untuk menamai tempat suci/tempat pemujaan, dipergunakanlah kata kahyangan atau hyang. Rupa-rupanya penggunaan
kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci, dipakai setelah dinasti Dalem di
Klungkung, disamping juga istilah kahayangan
masih tetap dipakai.
Pada masa pemerintahan Dalem
Waturenggong di Gelgel sekitar akhir abad ke 16, datanglah seorang pendeta dari
Kerajaan Majapahit yaitu Danghyang Nirartha untuk mengabadikan dan menyempurnakan kehidupan
agama Hindu di Bali. Beliau menemukan adanya kekaburan ajaran keagamaan antara
pemujaan dewa dengan roh leluhur. Hal inilah yang mendorong Danghyang
Nirartha membuat tempat pemujaan
berbentuk padmasana yang terletak di arah airsanya,
yaitu arah timur laut, menghadap barat daya, dalam lingkup areal suatu pura,
untuk memuja Sang Hyang Widhi, yang sekaligus membedakan tempat pemujaan dewa
serta roh leluhur (Ibid, 2001 : 93).
Dalam perkembangan lebih
lanjut kata pura digunakan disamping kata kahyangan
atau parhyangan dengan pengertian
sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang
Widhi dengan segala manifestasinya, disamping juga pemujaan terhadap leluhur
yang disebut bhatara. Hal ini
memberikan pengertian bahwa pura adalah simbol gunung Mahameru tempat pemujaan
dewa dan bhatara. Tidak sembarangan
tempat bisa dijadikan kawasan untuk membangun pura. Dalam tradisi Bali yang
termuat dalam beberapa lontar, menyatakan tanah yang layak dipakai sebagai
tempat suci adalah tanah yang berbau harum, “gingsih”,
sedangkan tempat-tempat yang ideal adalah tempat yang indah, disamping vibrasi
kesucian yang memancar pada lokasi yang ideal tersebut.
Untuk membuat pura yang indah,
harus memenuhi aturan yang tertuang dalam Asta kosala kosali dan Asta bhumi
(arsitektur tradisional Bali). Demikian pula
halnya dalam penerapan motif hias yang senantiasa menghiasi sebuah pura.
Sejak seseorang mulai masuk dari candi bentar, menuju kori agung, sampai ke
jeroan, sesungguhnya seperti seseorang menuju sorga, atau ke puncak gunung.
Jeroan pura adalah puncak gunung yang maha suci. Sang Hyang Widhi bersthana di
padmasana, para dewa bersthana di meru-meru sesuai dengan tingkatan
manifestasinya (Ibid, 2001 : 112).
2.2 Pengertian Padmasana
Kata padmasana berasal dari kata padma yang berarti bunga teratai, dan asana yang berarti tempat duduk atau
sikap duduk. Dalam agama Hindu dan Buddha, teratai dipakai simbol tempat duduk
para dewa. Dipilihnya bunga tersebut, karena memiliki beberapa keistimewaan
bila dibandingkan dengan bunga-bunga pada umumnya antara lain :
Bunga teratai akar dan pangkalnya tumbuh
di dalam lumpur yang busuk, batangnya
berada di air dan bunganya ada di atas air. Dengan demikian bunga teratai hidup
di tiga alam. Dalam agama Hindu Ida Sang Hyang Widhi disebutkan bertahta di
atas tiga alam yakni bhur, bwah dan swah yang dianggap sebagai simbol tri bhuwana.
Bunga teratai, walaupun hidup di air tetap
tidak basah oleh air. Oleh karena itu bunga teratai dipakai sebagai lambang
kesucian, bebas dari ketidakterikatan, walaupun beliau menciptakan dunia dan
berada di dunia. Kesamaan ini menyebabkan bunga teratai sebagai simbol sthana
Ida Sang Hyang Widhi.
Meskipun kelopak bunga teratai itu lebih
dari delapan kelopak, tetapi di dalam mitologi selalu dilukiskan berjumlah
delapan, sebagai simbol Ida Sang Hyang Widhi yang mempunyai sakti delapan dewa
yang dikenal dengan istilah Astasvarya (Cudamani,
1998 : 7).
Lebih
lanjut dijelaskan dalam buku Padmasana,
dalam filsafat Hindu alam semesta ini seumpama Ida Sang Hayang Widhi yang
dikenal dengan sebutan bhuwana agung. Sementara itu, bhuwana alit diumpamakan
tubuh manusia, dimana atma sebagai penguasanya. Dengan demikian bhuwana alit
adalah bentuk mini dari bhuwana agung yang memiliki tatanan yang sama. Hiasan bhadawang
nala yang terdapat pada bangunan padmasana merupakan dasar dari bhuwana agung
maupun bhuwana alit. Bila bhuwana agung digambarkan dengan padmasana, maka
manusia yang meninggal digambarkan dengan surat kajang, yang juga memakai
gambar bhadawang nala dan naga. Dengan kata lain maka dapatlah dijelaskan bahwa
padmasana itu merupakan gambaran dari bumi ini (Cudamani, 1998 : 17).
Pengertian Motif Hias Tradisional
Bali
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dijelaskan ; motif adalah sebab-sebab
yang menjadi dorongan; tindakan seseorang, dasar pikiran atau pendapat, sesuatu
yang menjadi pokok dalam cerita, gambaran dsb. ( Poerwadarminta, 1985 :
655). Motif adalah dasar warna;
latar belakang warna; dasar ragam untuk aransemen lagu; ragam; bentuk; alasan dasar
(Partanto, 1994 : 486). Hias adalah; corak hiasan pada kain, hiasan bagian
rumah, bangunan suci dan sebagainya (Susanto, 2002 : 75) Sedangkan tradisional
adalah kebiasaan secara turun-tumurun, tentang pandangan hidup, kepercayaan,
kesenian, tarian upacara dsb. (Ibid
1985 : 1088).
Berdasarkan uraian tersebut di
atas yang dimaksud dengan motif hias tradisional Bali adalah bentuk dasar atau
elemen pokok penciptaan suatu hiasan atau ornamen, yang dipolakan
berulang-ulang, memiliki kekhasan tertentu sehingga bisa menjadi identitas
motif hias daerah tertentu pula. Motif hias atau ornamen yang terinpirasi dari
unsur-unsur alam, diwujudkan kembali dengan tujuan untuk menghias suatu benda,
sehingga benda yang dihias tersebut mempunyai nilai tambah baik dari segi finansial
ataupun spiritual. Tidak jarang suatu motif hias atau ornamen mengandung makna
simbolis, filosofis, yang berhubungan dengan pandangan hidup masyarakat
tertentu pada waktu tertentu pula. Ciri hakiki dari benda-benda alam yang
dijadikan motif hias, masih menampakkan identitas walaupun diolah dalam usaha
penonjolan nilai-nilai keindahannya. Motif hias atau ornamen sengaja dibuat untuk
menghiasi bagian-bagian bangunan (arsitektur), kerajinan tangan, lukisan,
perhiasan dan sebagainya. Motif hias dalam hal ini dibuat dengan cara digambar,
dipahat maupun dicetak untuk meningkatkan nilai suatu benda, baik bangunan (arsitektur)
maupun karya seni (Ibid, 2002 : 220).
Motif hias atau ornamen merupakan
stilisasi dari bentuk-bentuk yang ada di alam seperti batu-batuan, awan, air,
api, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan mahluk-mahluk mitologi lainnya. Kehadiran
motif hias sebagai hasil kreasi manusia yang dapat menghasilkan suatu bentuk
hiasan (ornamen). Sedangkan pola mengandung pengertian suatu hasil
susunan/pengorganisasian dari motif tertentu dalam bentuk dan komposisi
tertentu pula. Namun pola dalam konteks tertentu dapat berarti lain, misalnya
dalam disain produk, yaitu sebagai prototipe dari suatu barang yang akan
diproduksi (Sukarman dalam Suardana, 2007 : 7). Stilisasi dari bentuk-bentuk
alam yang diwujudkan dalam bentuk motif hias atau ornamen bisa diterapkan pada
kain seperti hiasan pada ider-ider, umbul-umbul, batik, dan hiasan parba. Hiasan pada kayu seperti ulon, saka, kori, plawah gamelan, dan peralatan rumah tangga. Sedangkan pada batu
padas seperti pembuatan patung-patung perwujudan, hiasan pepalihan pada rumah
tinggal, dan bangunan suci. Kebiasaan membuat hiasan yang bernuansa lokal
secara turun-tumurun, atau sudah mentradisi tersebut, oleh masyarakat Bali
kemudian dikenal dengan motif hias tradisional. Dalam pengertian tradisional bumi terbentuk dari lima unsur
yang disebut Panca Mahabutha, yakni apah
(zat cair), teja (sinar), bayu (angin), akhasa (udara), dan pertiwi
(tanah bebatuan/zat padat). Kelima unsur tersebut melatarbelakangi bentuk-bentuk
motif hias (ornamen) yang berasal dari alam. Estetika, etika dan logika
merupakan dasar-dasar pertimbangan dalam mencari, mengolah dan menempatkan
motif hias yang mengambil tiga kehidupan di bumi, seperti halnya manusia,
binatang (fauna), dan tumbuh-tumbuhan (flora). (Gelebet, 1982 : 331).
Adapun jenis-jenis motif hias tradisional Bali
tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Motif Keketusan (geometris), terdiri dari
:
–
Kakul-kakulan
–
Batun
timun
–
Ganggong
–
Emas-emasan
–
Ceracap
–
Mute-mutean
–
Tali
ilut dan sebagainya.
2. Motif tumbuh-tumbuhan (pepatran), terdiri
dari :
–
Patra Punggel
–
Patra Samblung
–
Patra Sari
–
Patra Olanda
–
Patra Cina
–
Patra
Wangga dan sebagainya.
3. Motif Kekarangan, terdiri dari :
–
Karang
Gajah
–
Karang
Guak
–
Karang
Tapel
–
Karang
Boma
–
Karang
Sae
–
Karang
Bentulu
–
Karang
Simbar dan sebagainya.
Motif hias tradisional Bali tersebut
berfungsi sebagai hiasan atau elemen penghias bangunan terutama tempat suci,
seperti halnya padmasana, selalu mengikuti bentuk dan struktur dari bangunan
tersebut, yang mencerminkan tiga unsur alam, yakni bhur loka, alam bawah, bwah
loka alam tengah, dan swah loka
alam atas.
BAB III
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Taylor (1975 : 5)
pendekatan kualitatif menghasilkan deskripsi berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Teknik analisis
dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif.
3.1
Sumber Data
Jenis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yang diperoleh dari informan sebagai
data primer. Selain data primer juga digunakan data sekunder sebagai data
penunjang yakni data yang diperoleh dari studi kepustakaan (library research).
3.2
Teknik Pengumpulan Data
Ada beberapa metode atau teknik dalam
pengumpulan data. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
3.2.1. Observasi
Pengumpulan
data dengan observasi dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap objek yang
diteliti, yakni bangunan padmasana yang ada di Pura Puseh Desa Adat Batubulan,
Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data
yang lengkap berkenaan dengan keadaan yang sesungguhnya di lapangan.
3.2.2. Wawancara
Metode ini digunakan untuk memperoleh
data atau informasi yang lengkap dari beberapa orang narasumber, yang mengerti
tentang keberadaan bangunan padmasana, baik dari kalangan pemangku, pendeta, “undagi”, dan tokoh-tokoh masyarakat
lainnya. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan
membuat catatan tentang pokok-pokok permasalahan yang akan ditanyakan sesuai
dengan tujuan penelitian.
3.2.3. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah teknik
pengumpulan data melalui sejumlah pustaka, dalam hal ini peneliti akan menelaah
beberapa literatur baik berupa buku, lontar, jurnal, majalah maupun surat
kabar, yang ada signifikansinya terhadap penelitian.
3.2.4. Dokumentasi
Adalah
bukti-bukti tertulis atau benda-benda peninggalan yang berkaitan dengan
peristiwa penting. Banyak peristiwa yang terjadi di masa lampau bisa dipelajari
melalui dokumen. Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa
buku-buku, lontar, foto-foto bangunan padmasana, hasil karya seni pahat dan
sebagainya.
3.3 Instrumen Penelitian
Selama di lapangan data dikumpulkan
dengan menggunakan pedoman wawancara yang dilengkapi dengan buku catatan, tape recorder, dan kamera fotografi.
Alat-alat ini digunakan untuk mencatat dan merekam berbagai informasi yang
dibutuhkan dari informan, terkait dengan keberadaan bangunan padmasana, jika
dikaji dari aspek struktur bentuk, dan penerapan motif hias tradisional Bali.
Sementara itu, kamera fotografi digunakan untuk memotret beberapa bagian dari bangunan
padmasana yang lengkap dengan motif hias tradisional Bali yang menjadi objek
penelitian.
3.4 Lokasi Penelitian
Lokasi
penelitian di Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Dasar
pertimbangan memilih lokasi di desa bersangkutan, karena desa tersebut memiliki
potensi seni khususnya seni ukir batu padas dengan motif hias tradisional Bali,
yang diterapkan pada bangunan suci (pura) dan juga rumah tinggal.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Di Bali
bangunan padmasana memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat pemujaan
atau sthana Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Dengan demikian, pada suatu
tempat suci (pura) biasanya dilengkapi dengan bangunan padmasana. Bangunan
padmasana terletak di arah airsanya,
yaitu arah timur laut pada sebuah pura, yang dipandang sebagai tempat Sanghyang
Siwa Raditya, dan sangat disucikan oleh umat Hindu. Kalau kita bandingkan
dengan bangunan candi-candi yang ada di Jawa, padmasana digambarkan dalam
bentuk bunga teratai sebagai alas duduk patung dewa. Gambar semacam ini tidak
hanya kita temui pada bangunan candi yang ada di Jawa, akan tetapi juga pada
candi-candi yang ada di India.
Sementara itu, gambar bunga teratai sebagai
alas duduk patung dewa sangat jarang kita temui di Bali. Di Jawa alas duduk
dari perwujudan dewa berbentuk bunga padma, sedangkan di Bali alas banten
perwujudan itu berbentuk “lamak”. Lamak
biasanya terbuat dari perpaduan enau yaitu ron
dan ambu yang menggambarkan isi
dunia. Di dalam lamak tergambar
bulan, bintang, mahluk-mahluk, orang-orangan dan tumbuh-tumbuhan, sebagai
simbol bahwa Hyang Widhi itu di sthanakan di atas bumi dengan segala isinya
(Titib, 2001 : 106). Dengan demikian Ida Sang Hyang Widhi bertahta di atas bumi
ini kemudian menjadi dasar mengapa bentuk padmasana di Bali berubah dari wujud
bunga teratai menjadi bentuk bangunan padmasana, seperti “singhasana” (berbentuk kursi), yang bisa kita lihat saat ini.
Konsep bangunan padmasana yang diwarisi sampai
saat ini di Bali berawal dari kedatangan seorang pendeta dari Kerajaan
Majapahit yaitu Danghyang Nirartha akhir abad ke 16 SM, pada masa pemerintahan
Dalem Waturenggong. Sebelum beliau datang ke Bali, tempat suci (pura) belum
dilengkapi padmasana. Hal ini dikuatkan oleh lontar Dvijendra Tattwa disebutkan bahwa pada waktu, Danghyang Nirartha
tiba di Bali, beliau merasakan memasuki mulut naga, dan melihat ada bunga
teratai (padma) yang sedang mekar tetapi sayang sarinya tidak ada. Yang
dimaksudkan dalam hal ini adalah di Bali agama Hindu sudah berkembang dengan
baik, akan tetapi pemujaan hanya ditujukan kepada dewa-dewa dan roh leluhur sebagai
manifestasi dari Hyang Widhi.
Pemujaan yang ditujukan terhadap dewa-dewa dan
roh leluhur inilah yang dimaksudkan sebagai bunga teratai tanpa sari. Beliau
kemudian mengurangi penggunaan patung patung dewa yang dipuja, tidak seperti
apa yang sudah ada sebelumnya di Bali, pelinggih meru dan gedong pada masa lalu
hanya difungsikan sebagai pemujaan dewa-dewa dan roh leluhur (Cudamani, 1998 : 51).
Walaupun kita
melihat di dalam sebuah pura terdapat banyak adanya bentuk-bentuk patung,
ternyata patung-patung tersebut adalah patung hiasan, ataupun patung
dwarapahala sebagai penjaga pintu masuk. Hal ini disebabkan sejak Danghyang
Nirartha ada di Bali, patung-patung perwujudan dewa itu dibuat dalam bentuk
banten seperti banten perwujudan dewa-dewi, banten catur, atau yang paling
sederhana berbentuk daksina atau tapakan
(Ibid, 1998 : 3).
Banten
perwujudan ini bersifat sementara, dimana bahannya terdiri dari daun-daunan,
bunga-bungaan, serta hasil bumi. Dengan demikian fungsi padmasana memiliki
peranan yang cukup penting pada setiap
pura, yang dipandang sebagai simbol bumi dengan segala isinya, dan sebagai
tempat bersthananya Sang Hyang Widhi yang mampu mempersatukan berbagai lapisan
yang ada di masyarakat.
4.3 Fungsi Dan Jenis Padmasana
Fungsi utama
dari bangunan padmasana, adalah sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa. Menurut
lontar Catur Wariga Winasasari, ada
bermacam-macam padmasana yang berbeda-beda fungsinya, menurut tempatnya.
Padmasana yang terletak di arah airsanya
yaitu timur laut adalah linggih
Sanghyang Siwa Raditya, padmasana yang terletak di sebelah timur adalah linggih Sanghyang Iswara, yang berada
di sebelah selatan adalah linggih
Sanghyang Brahma, yang terletak di sebelah utara adalah linggih Sanghyang Wisnu, sedangkan yang di tengah-tengah berupa padmakurung memakai tiga ruangan (rong telu), dipuncaknya sebagai linggih Sanghyang Samodaya. Semua
padmasana ini memakai dasar bhadawang nala yang dililit oleh naga (Cudamani,
1998 : 44).
Padmasari,
bangunan ini bentuknya menyerupai padmasana, akan tetapi tidak menggunakan
dasar bhadawang nala yang dililit oleh naga. Padmasana merupakan linggih atau sthana permanen dari
dewa-dewa tertentu sesuai dengan letaknya, dan tidak boleh dipergunakan sebagai
tempat “pengayatan”. Sedangkan padmasari bisa digunakan sebagai tempat/linggih dewa, pitara, untuk sementara
dalam arti tidak permanen yang memiliki bentuk yang lebih sederhana.
Padma Capah,
bangunan ini mirip dengan padmasari, akan tetapi bentuk dan ukurannya sangat
sederhana, lebih kecil dan rendah. Adapun yang disthanakan di tempat tersebut
adalah spirit (roh) yang mempunyai status lebih rendah dari pemiliknya (Ibid, 1998 : 48).
Bangunan pura umumnya menghadap ke barat, jika
memasuki sebuah pura akan menuju ke arah timur, demikian pula pemujaan dan
persembahyangannya menghadap ke timur ke arah terbitnya matahari. Sedangkan komposisi
bangunan pelinggih berjajar utara selatan di sisi timur menghadap ke barat, dan sebagian lagi
ada di sisi utara menghadap ke selatan. Pada sebuah pura, padmasana, meru,
gedong, kemulan merupakan bangunan pelinggih sebagai tempat pemujaan utama.
Bangunan padmasana memiliki fungsi yang
cukup penting sebagai tempat pemujaan atau sthana Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang
Maha Esa). Padmasana pada suatu pura terletak di arah airsanya, yaitu arah timur laut, yang dipandang sebagai linggih
Sanghyang Siwa Raditya. Pekarangan pura dibatasi
oleh tembok pembatas (penyengker) pekarangan yang disakralkan. Pada bagian-bagian
sudut terdapat paduraksa yang berfungsi sebagai penyangga sudut-sudut
penyengker. Pintu masuk di depan atau di jaba pura memakai candi bentar, dan
pintu masuk ke jaba tengah atau ke jeroan memakai kori agung dengan berbagai
macam bentuk variasi dan kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya (Gelebet, 1982 : 108).
Bentuk bangunan padmasana
hampir sama dengan candi yang lengkap dengan pepalihan, akan tetapi tidak mempunyai atap. Tinggi padmasana
sekitar 3 sampai 4 meter dengan dasar segi empat atau bujur sangkar, lebar sisi-sisinya
sekitar 2 sampai 3 meter, bentuknya mengecil ke arah atas. Struktur bangunannya
terdiri dari bagian kaki yang disebut tepas,
bagian badan atau batur, dan bagian
kepala yang disebut sari. Bangunan
padmasana di buat dalam bentuk ruang yang bervariasi dalam dimensi, komposisi
bidang-bidang pasangan, dan tata motif hiasannya (Gelebet, 1982 : 159).
Bentuk hiasan yang umumnya dipakai pada bebaturan pasangan batu bata untuk
pelinggih-pelinggih pemujaan seperti halnya bangunan padmasana, yakni berupa
pepalihan dengan segala macam variasi
yang berpedoman pada pakem-pakem dasar pepalihan. Macam-macam pepalihan
ada yang disebut palih bagenda, palih wayah, palih bacean, palih taman sari,
bagian-bagian suatu pepalihan yang disebut cakep
gula, cakep sari, pepiringan,
sebitan, gemulung, ringring, bogem, bungan tuwung, dengan berbagai
kombinasi dan variasi. (Gelebet, 1982 : 337).
Gambar 1.
Tampak Depan Padmasana
Sumber : Buku
Arsitektur Tradisional Daerah Bali
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1982
Gambar 2.
Tampak Samping Padmasana
Sumber :
Buku Arsitektur Tradisional Daerah Bali
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1982
Gambar 3.
Pelinggih Padmasana di Pura Puseh, Desa Adat
Batubulan
Sudah menjadi kebiasan bagi
masyarakat Hindu di Bali dalam membuat bangunan selalu diberi hiasan atau
ornamen, lebih-lebih tempat pemujaan seperti halnya padmasana yang dipandang
sebagai simbol bumi (bhuwana agung). Motif hias yang diterapkan pada bangunan
padmasana, merupakan stilisasi dari bentuk-bentuk yang ada di alam seperti
batu-batuan, awan, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan
mahluk-mahluk mitologi lainnya.
Stilisasi dari bentuk-bentuk
alam dalam bentuk motif hias (ornamen) yang sudah diterapkan secara
turun-tumurun oleh masyarakat dikenal dengan istilah motif hias tradisional
Bali. Penerapan motif hias tradisional Bali pada bangunan padmasana disamping
mengandung nilai-nilai estetis, filosofis, juga nilai-nilai simbolis. Penerapan
motif-motif hias tersebut selalu mengikuti bentuk dan struktur/pepalihan yang terdapat pada bangunan
padmasana. Kalau dilihat dari struktur penerapan motif hiasannya adalah sebagai
berikut :
Dari bagian bawah atau bagian
kaki bangunan padmasana yang disebut tepas,
terdapat motif hias bhadawang nala (kura-kura) yang dililit oleh dua ekor naga
yakni naga Anantabhoga dan Basuki. Kemudian
di atasnya yakni pada setiap sudut terdapat motif hias karang gajah/asti, di
tengah-tengah sejajar dengan motif hias Karang Gajah tersebut terdapat motif
Karang Bentulu dan Karang Daun. Di atas motif Karang Gajah yang menghiasi ke
empat sudut bangunan padmasana, terdapat motif hias Karang Tapel, yang pada
bagian bawahnya dikombinasikan dengan motif Karang Simbar, yang juga menghiasi
bagian sudut bangunan. Di atas karang Tapel terdapat motif hias Karang Guak
yang juga menghiasi ke empat sudut bangunan padmasana, dikombinasikan dengan Karang Simbar dan patra
punggel. Pada terapan pepalihan terdapat motif keketusan atau motif-motif
geometris seperti ganggong, ceracap dan kakul-kakulan.
Pada bagian tengah atau badan
bangunan padmasana yang disebut batur, yakni
pada bagian belakang badan padmasana terdapat motif hias garuda membawa tirta amerta, kemudian di atasnya pada
setiap sudut masing-masing terdapat motif hias Karang Guak, yang dikombinasikan
dengan Karang Simbar dan patra punggel. Pada terapan pepalihan terdapat motif
keketusan seperti emas-emasan, kakul-kakulan, ceracap dan batun timun. Pada
bagian belakang di atas motif hias garuda
terdapat motif hias angsa yang sedang mengepas-ngepaskan sayapnya.
Pada bagian atas bangunan
padmasana yang disebut sari terdapat
“singhasana”seperti kursi, yang pada bagian dinding samping dan belakangnya
terdapat ulon. Pada ulon belakang singhasana terdapat motif Sang Hyang Acintya. Dilihat dari sikap
tari Sang Hyang Acintya tersebut mengingatkan kita pada tari Sivanataraja dalam
menciptakan alam semesta. Pada bagian belakang ulon terdapat motif patra punggel yang dikomposisikan menyerupai
bentuk “gunungan” (kayonan). Ulon
bagian samping kiri dan kanan dihiasi dengan motif hias Naga Taksaka bersayap
yang dikombinasikan dengan patra punggel.
Motif-motif hias seperti keketusan motif
(geometris) dan pepatran, lebih banyak berfungsi sebagai elemen penghias untuk
menambah keindahan dan keagungan dari bangunan padmasana itu sendiri, yang
diterapkan pada bidang pepalihan,
yang sudah disesuaikan. Penerapan motif-motif hias pada bangunan padmasana
disamping mengadung nilai-nilai estetis, filosofis, juga mengandung nilai-nilai simbolis antara lain :
motif hias bhadawang nala, sebagai simbol gerak dinamis kehidupan di bumi,
dijadikan dasar padmasana, wadah ataupun bade. Naga Anantabhoga adalah simbol
kemurahan akan sandang, pangan dan papan yang tidak akan habis-habisnya. Naga
Basuki adalah simbol kekuatan air yang menjadi sumber kehidupan mahkluk, atau
sebagai lapisan yang menutupi kulit bumi ini. Garuda membawa tirta amerta
adalah pelaku utama dalam cerita Samudra Manthana dalam Adiparwa yang
menggambarkan pencaharian tirta amerta
(air kehidupan) antara dewa dan raksasa, dengan kemenangan difihak para dewa,
sebagai simbol kebebasan melalui pelepasan terhadap ikatan duniawi. Sedangkasn
motif hias angsa yang sedang mengepas ngepaskan sayapnya adalah simbol kesucian
dan keindahan abadi (Titib, 2001 : 108). Angsa juga disimbolkan sebagai Omkara,
Brahman atau Atman, yakni sebagai simbol manusia yang ingin kembali kepada Sang
Hyang Widhi, yang juga disebut amoring
acintya. Sedangkan Naga Taksaka bersayap berarti udara atau atmosfir yang
mengambil tempat di angkasa (Cudamani, 1998 : 41).
Gambar 4.
Motif Hias Bhadawang Nala, Naga
Anantabhoga, dan Naga Basuki yang menghiasi bangunan Padmasana di Pura Puseh
Desa Adat Batubulan.
Gambar 5.
Motif Hias Karang Gajah/asti
kombinasidengan patra punggel
Gambar 6.
Motif Hias Karang Guak dan Karang Simbar
Gambar 7.
Motif Hias Karang Tapel kombinasi dengan
patra punggel
Gambar 8.
Motif Hias Karang Bentulu kombinasi dengan patra punggel
Gambar 9.
Motif Hias Garuda
Gambar 10.
Motif Hias Keketusan (kakul-kakulan)
Gambar 11.
Motif Hias Keketusan (emas-emasan)
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Kesadaran berkesenian sudah
sangat mengental dan mentradisi dalam
kehidupan masyarakat Bali. Sikap berkesenian secara tulus sebagai
pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menjadi suatu tumpuan terciptanya
keseimbangan hidup manusia, antara alam, lingkungan sosial, dan dengan
Tuhannya, sebagai pencipta semua yang ada. Berbagai jenis kesenian berhubungan
erat dengan agama merupakan satu
kesatuan yang terjalin erat sebagai wujud
bhakti kepada Tuhan. Dengan demikian pada setiap bangunan suci seperti
pura, dan pemerajan selalu dihiasi dengan ukiran yang menerapkan motif hias
tradisional Bali sebagai cerminan rasa bhakti
kepada Sang Pencipta.
Di Bali pada suatu tempat suci
(Pura) biasanya dilengkapi dengan bangunan padmasana. Bangunan padmasana
memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat pemujaan atau sthana Sang
Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Bangunan padmasana pada suatu pura terletak
di arah airsanya, yaitu arah timur
laut, yang dipandang sebagai tempat Sanghyang Siwa Raditya, dan sangat
disucikan oleh umat Hindu.
Konsep bangunan padmasana yang
kita warisi sampai saat ini di Bali berawal dari kedatangan seorang pendeta
dari Kerajaan Majapahit yaitu Danghyang Nirartha akhir abad ke 16 SM, yakni
pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong. Sebelum beliau datang ke Bali,
tempat suci (Pura) belum dilengkapi padmasana.
Adapun struktur bentuk bangunan padmasana disusun
vertikal yang mencerminkan
tiga unsur alam, yakni bhur loka,
alam bawah, bwah loka alam tengah,
dan swah loka alam atas.
Perwujudannya berdasarkan konsep Triangga
yaitu ; nistama angga (bagian kaki), madya angga (bagian badan), utama angga, (bagian kepala). Sedangkan
motif hias yang diterapkan pada bangunan padmasana, merupakan stilisasi dari
bentuk-bentuk yang ada di alam seperti
batu-batuan, awan, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan
mahluk-mahluk mitologi lainnya.
Adapun jenis motif hias tradisional Bali tersebut
antara lain:
Motif Keketusan (geometris), terdiri dari motif
kakul-kakulan, batun timun, ganggong, emas-emasan, ceracap, mute-mutean dan
tali ilut. Motif tumbuh-tumbuhan atau
pepatran, antara lain seperti patra punggel, patra samblung, patra sari, patra
olanda, patra cina dan patra wangga. Motif Kekarangan, terdiri dari motif
karang gajah, karang guak, karang tapel, karang boma, karang sae, karang
bentulu dan karang simbar. Sedangkan motif-hias yang terinspirasi dari mahluk-mahluk
mitologi yang bersifat simbolis antara lain seperti : bhadawang nala, naga
anatabhoga, naga taksaka, garuda, dan angsa.
Motif hias tradisional Bali
tersebut berfungsi sebagai hiasan atau elemen penghias suatu bangunan, disamping
juga mengandung nilai-nilai filosofis dan simbolis.
5.2 Saran
Diharapkan kepada masyarakat,
terutama bagi kalangan arsitek, undagi,
seniman, tukang ukir, dan sebagainya, dalam mewujudkan bangunan, lebih-lebih
bangunan suci seperti halnya padmasana, senantiasa memperhatikan aturan atau
tata cara yang sudah ada seperti tertuang dalam Asta bhumi dan Asta Kosala kosali,
(arsitektur tradisional Bali). Dalam penerapan motif hias tidak semata-mata mengedepankan
unsur-unsur estetis, akan tetapi juga nilai-nilai filosofis, dan simbolis religius menurut kepercayaan agama Hindu,
sehingga tidak terjadi penyimpangan yang bisa meresahkan masyarakat. Banyak
hal-hal yang bisa diungkap dalam meneliti “Bangunan Padmasana : Kajian Struktur
dan Penerapan Motif Hias Tradisional Bali dari perspektif lain, baik dari segi bentuk,
fungsi dan maknanya bagi masyarakat, dengan penerapan metode dan referensi yang
lengkap dan relevan sesuai kebutuhan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Cudamani, 1998. Padmasana. Surabaya : Paramita
Covarrubias, Miguel. 1974. Island Of Bali. Kuala Lumpur : Oxford
University Press.
Djelantik, A.A.M. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung :
Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia.
Darmika, I Wayan. 1987.
Ragam Hias Pada Pura Sebagai Sumber Inspirasi, Tugas Akhir Program Studi Seni
lukis, Fakultas Seni Rupa dan Disain ISI Yogyakarta.
Ginarsa, Ketut. 1979. Gambar Lambang. CV. Sumber Mas Bali.
Gelebet, I Nyoman. 1982. Arsitektur Tradisional Daerah Bali.
Proyek Iventarisasi dan Dokumentasi Kebuadayaan Daerah, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Gustami, Sp. 1980. Nukilan Seni Ornamen Indonesia,
Yogyakarta : STSRI “ASRI”.
Linus, I Ketut. 1985.
“Beberapa Patung Dalam Agama Hindu” : Sebuah Pendekatan Dari Segi Arkeologi.
Ngidep Wiyasa, I Nyoman.
1991. Pengembangan Motif Hias Kekarangan Dalam Penciptaan Perhiasan dan Hiasan
Dinding. Tugas Akhir Program Studi Kriya Logam, Fakultas Seni Rupa dan Disain
ISI Yogyakarta.
Poerwadarminta, 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta :
Balai Pustaka.
Redig I Wayan, 1997.
Ciri-ciri Ikonografi Beberapa Arca Hindu di Bali (Studi Banding Dahulu dan
Sekarang). Dinamika Kebudayaan Bali,
Denpasar : Upada Sastra.
Sudara, I Gusti Nyoman.
1983. Kumpulan Pola Hias Bali. Denpasar : Sekolah Menengah Seni Rupa.
Suardana, I Wayan. 2007.
Buku Ajar Ornamen II (Nusantara dan Internasional), Fakultas Seni Rupa Dan
Desain, ISI Denpasar.
Susila Patra, I Made. 1985.
Hubungan Seni Bangunan Dengan Hiasan Dalam Rumah Tinggal
Adati Bali. PN. Balai Pustaka.
Sika, Wayan. t./th. Kumpulan Ragam Hias Bali. Pembinaan SMK.,
Direktorat PMK. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soepratino, 1983. Ornamen Ukir Kayu Tradisional Jawa.
Semarang : PT. Effhar.
Soegeng Toekio, Tt. Mengenal Ragam Hias Indonesia. Bandung :
Penerbit Angkasa.
Titib, I Made. 2001. Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama
Hindu. Surabaya : Paramita
Urs Ramseyer, 1977. The Art and Culture Of Bali. New York :
University Press.
Yuda Triguna, Ida Bagus
Gde. 2000. Teori Tentang Simbol.
Denpasar : Widya Dharma
LAMPIRAN
RINGKASAN
Kesadaran berkesenian sudah
sangat mengental dan mentradisi dalam
kehidupan masyarakat Bali. Sikap berkesenian secara tulus sebagai
pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menjadi suatu tumpuan terciptanya
keseimbangan hidup manusia, antara alam, lingkungan sosial, dan dengan
Tuhannya, sebagai pencipta semua yang ada. Berbagai jenis kesenian berhubungan
erat dengan agama merupakan satu
kesatuan yang terjalin erat sebagai wujud
bhakti kepada Tuhan. Dengan demikian pada setiap bangunan suci seperti
pura, dan pemerajan selalu dihiasi dengan ukiran yang menerapkan motif hias
tradisional Bali.
Di Bali pada suatu tempat suci
(pura) biasanya dilengkapi dengan bangunan padmasana. Bangunan padmasana
memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat pemujaan terhadap Sang Hyang
Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Bangunan padmasana pada suatu pura terletak di
arah airsanya, yaitu arah timur laut,
yang dipandang sebagai tempat Sanghyang Siwa Raditya, dan sangat disucikan oleh
umat Hindu. Konsep bangunan padmasana yang diwarisi sampai saat ini di Bali
berawal dari kedatangan seorang pendeta dari Kerajaan Majapahit yaitu Danghyang
Nirartha akhir abad ke 16 SM, yakni pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong.
Sebelum beliau datang ke Bali, tempat suci (pura) belum dilengkapi padmasana.
Adapun struktur bentuk bangunan Padmasana disusun
vertikal yang mencerminkan
tiga unsur alam, yakni bhur loka,
alam bawah, bwah loka alam tengah,
dan swah loka alam atas.
Perwujudannya berdasarkan konsep Triangga
yaitu ; nistama angga (bagian kaki), madya angga (bagian badan), utama angga, (bagian kepala). Sedangkan
motif hias yang diterapkan pada bangunan padmasana, merupakan stilisasi dari
bentuk-bentuk yang ada di alam seperti
batu-batuan, awan, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan
mahluk-mahluk mitologi lainnya.
|
Motif Keketusan (geometris), terdiri dari motif
kakul-kakulan, batun timun, ganggong, emas-emasan, ceracap, mute-mutean, dan
tali ilut. Motif tumbuh-tumbuhan atau
pepatran, antara lain seperti patra punggel, patra samblung, patra sari, patra
olanda, patra cina, dan patra wangga. Motif Kekarangan, terdiri dari motif
karang gajah, karang guak, karang tapel, karang boma, karang sae, karang
bentulu dan karang simbar. Sedangkan motif-hias yang terinspirasi dari
mahluk-mahluk mitologi yang bersifat simbolis antara lain seperti : bhadawang
nala, naga anantabhoga, naga taksaka, garuda, dan angsa.
Motif hias tradisional Bali tersebut
berfungsi sebagai hiasan atau elemen penghias bangunan, disamping juga
mengandung nilai-nilai filosofis dan simbolis.
|
Curriculum Vitae Ketua Peneliti
1.
|
Nama
|
Ir. Mercu
Mahadi
|
2.
|
Tempat/Tanggal
lahir
|
Denpasar, 21
Pebruari 1962
|
3.
|
Pangkat/Golongan
|
Penata/IIIc/Lektor
|
4.
|
Jabatan
|
Dosen
|
5.
|
NIP
|
132089902
|
6.
|
Kesatuan/Jabatan/Dinas
|
FSRD ISI
Denpasar
|
7.
|
Alamat Kantor
|
Jl. Nusa Indah
Denpasar
|
8.
|
Alamat Rumah
|
Jl. Raya
Sesetan Gang Naga Sari No 8 Denpasar
|
Riwayat Pendidikan
NO.
|
PENDIDIKAN
|
TAHUN IJAZAH
|
TEMPAT
|
NOMOR IJAZAH
|
1.
|
Sekolah Dasar
|
1974
|
SDN 3 Sesetan
|
XIV.A.a/5711
|
2.
|
Sekolah
Menengah Pertama
|
1977
|
SMP K. Widhyapura
Sesetan
|
XIV.B.b.13518
|
3.
|
Sekolah
Menengah Atas
|
1981
|
SMPP Sidakarya Denpasar
|
0001213
|
4.
|
Perguruan Tinggi
Tingkat Sarjana
|
1992
|
Univ. Dwijendra
Denpasar
|
07/FT/A/1992
|
Pengalaman Penelitian
NO.
|
TAHUN
|
JUDUL PENELITIAN
|
1.
|
1998
|
Kori Dalam
Arsitektur Tradisional Bali
|
2.
|
1999
|
Perkembangan
Kayu sebagai Bahan Bangunan Tradisional Bali
|
3.
|
2000
|
Jineng Pada
Rumah Bali
|
Denpasar, 3 Maret 2008
Ir. Mercu Mahadi
NIP 132089902
Curriculum Vitae Anggota Peneliti
1.
|
Nama
|
Drs. I Nyoman
Ngidep Wiyasa, M.Si.
|
2.
|
Tempat/Tanggal
lahir
|
Keliki 30
Desember 1965
|
3.
|
Pangkat/Golongan
|
Penata/IIId/Lektor
|
4.
|
Jabatan
|
Dosen
|
5.
|
NIP
|
132006572
|
6.
|
Kesatuan/Jabatan/Dinas
|
FSRD ISI
Denpasar
|
7.
|
Alamat Kantor
|
Jl. Nusa Indah
Denpasar
|
8.
|
Alamat Rumah
|
Jalan Merak No.
22 Singapadu, Sukawati, Gianyar.
|
Riwayat Pendidikan
NO.
|
PENDIDIKAN
|
TAHUN
|
TEMPAT
|
SPESIALISASI
|
1.
|
Sekolah Dasar
|
1973-1979
|
SDN 1 Keliki
|
Umum
|
2.
|
Sekolah
Menengah Pertama
|
1979-1982
|
SMPN 1
Tegallalang
|
Umum
|
3.
|
Sekolah
Menengah Seni Rupa
|
1982-1986
|
SMSR N Denpasar
|
Seni Lukis
Tradisional Bali
|
4.
|
Perguruan
Tinggi Tingkat Sarjana
|
1986-1991
|
ISI Yogyakarta
|
Seni Kriya
Logam
|
5.
|
Perguruan
Tinggi Tingkat Magister
|
2003-2006
|
Program
Pascasarjana UNUD
|
Kajian Budaya
|
Pengalaman Penelitian
NO.
|
TAHUN
|
JUDUL PENELITIAN
|
1.
|
1993
|
Proses Kreasi
Pematung I Made Ada
|
2.
|
1993
|
Unsur-unsur
Primitif Karya Patung I Ketut Nongos
|
3.
|
1994
|
Kerajinan Logam
Di Banjar Pande Kabupaten Bangli
|
4.
|
1995
|
Kreativitas
Seni Pematung I Ketut Tulak
|
5.
|
2004
|
Keberadaan Dan
Perkembangan Seni Rupa Bali di Era Globalisasi
|
6.
|
2006
|
Proses Kreatif
I Wayan Winten Dalam Membuat Patung Beton
|
7.
|
2006
|
Upaya
Pelestarian Seni Lukis Klasik Wayang Kamasan
: Perspektif Kajian Budaya
|
8.
|
2007
|
Perkembangan
seni Patung Beton Di Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.
|
Denpasar, 2 Maret 2008
Drs. I Nyoman Ngidep Wiyasa, M.Si
NIP. 132006572
HALAMAN PENGESAHAN
PENELITIAN
1. Judul
Penelitian
2. Ketua
Peneliti
a. Nama lengkap dengan gelar
b. Pangkat/Golongan/NIP
c. Jabatan Sekarang
d. Fakultas
e. Universitas
f. Alamat Kantor
g. Telepon/Faks/E-mail
3. Jumlah
Peneliti
4. Lokasi
Penelitian
5. Kerja sama
6. Jangka Waktu
Penelitian
7. Biaya
Penelitian
|
Bangunan Padmasana : Kajian Struktur dan Penerapan Motif Hias Tradisional
Bali
Ir. Mercu
Mahadi
Penata III/c/132089902
Lektor
Fakultas Seni
Rupa dan Desain
ISI Denpasar
Jalan Nusa
Indah Denpasar
(0361) 227316/
(0361) 236100/ isidenpasar @ yahoo.com
3 orang, 2
orang peneliti dan 1 orang tenaga lapangan
Kabupaten
Gianyar
-
6 bulan
Rp. 8.000.000,-
(delapan juta
rupiah)
|
A.n. Dekan
Pembantu Dekan I,
FSRD ISI Denpasar Denpasar,
18 Agustus 2008
Ketua Peneliti
Drs. I Gede Mugi Raharja, M.Sn Ir. Mercu Mahadi
NIP. 131924842
NIP. 132089902
Menyetujui
Kepala Lembaga Penelitian dan
Pengabdian
Masyarakat ISI Denpasar
Prof. Drs. A.A. Rai Kalam
NIP. 130346026
|
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu
Puji
syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat-Nya,
sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian yang berjudul “Bangunan
Padmasana : Kajian Struktur Dan Penerapan Motif Hias Tradisional Bali”
Pada
kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
- Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar.
- Dekan Fakultas Seni Rupa Dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar.
- Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Institut Seni Indonesia Denpasar.
- Rekan-rekan dosen di Fakultas Seni Rupa Dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar, yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, yang telah memberikan referensi dan informasi yang sangat dibutuhkan dalam penelitian ini.
- Bapak Kepala Desa Batubulan, atas segala fasilitas dan informasi yang diberikannya ketika penulis melakukan penelitian.
-
iii
Sebagai akhir kata, penelitian
ini masih banyak kekurangannya, mengingat keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan penulis, oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran dari
berbagai fihak, demi lebih lengkapnya penelitian ini. Semoga penelitian ini ada
manfaatnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang penerapan motif hias tradisional Bali terutama pada bangunan suci.
Om Santi, Santi, Santi Om.
Denpasar, 18 Agustus 2008
Penulis
|
LAPORAN PENELITIAN
BANGUNAN PADMASANA : KAJIAN STRUKTUR DAN PENERAPAN
MOTIF HIAS TRADISIONAL BALI
Oleh :
Ir. Mercu Mahadi
Drs. I Nyoman Ngidep Wiyasa, M.Si
DIBIAYAI DARI DANA DIPA ISI
DENPASAR
NOMOR 0230.0/023-04/XX/2008
TANGGAL 31 DESEMBER 2007
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT SENI INDONESIA
DENPASAR
2008
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR.................................................................................... vii
RINGKASAN............................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang...................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian................................................................ 5
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA............................................................. 6
2.1 Pengertian Pura..................................................................... 6
2.2 Pengertian Padmasana.......................................................... 8
2.3 Pengertian Motif Hias Tradisional Bali................................ 9
BAB III METODE
PENELITIAN........................................................... 13
3.1 Sumber Data......................................................................... 13
3.2 Teknik Pengumpulan Data.................................................... 13
3.2.1 Observasi................................................................... 13
3.2.2 Wawancara................................................................ 14
3.2.3 Studi Kepustakaan..................................................... 14
3.2.4 Dokumentasi.............................................................. 14
3.3 Instrumen Penelitian............................................................. 14
3.4 Lokasi Penelitian................................................................... 15
BAB IV HASIL
DAN PEMBAHASAN.................................................. 16
4.1
Gambaran Umum Lokasi
Penelitian..................................... 16
4.1.1
Kondisi Geografis Desa
Batubulan........................... 16
4.1.2
Mata Pencaharian....................................................... 18
4.1.3
Agama dan Kepercayaan........................................... 19
|
4.2
Sekilas Tentang Sejarah
Bangunan Padmasana.................... 20
4.3
Fungsi Dan Jenis Padmasana............................................... 23
4.4
Tata Letak Bangunan
Padmasana......................................... 24
4.4.1
Struktur Bangunan
Padmasana.................................. 25
4.4.2
Penerapan Motif hias
Tradisional Bali Pada Bangunan Padmasana 28
BAB V SIMPULAN DAN SARAN....................................................... 35
5.1
Simpulan............................................................................... 35
5.2
Saran..................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
|
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.... Tampak
Depan Padmasana....................................................... 26
Gambar 2.... Tampak
Samping Padmasana................................................... 27
Gambar 3.... Pelinggih Padmasana di Pura Puseh, Desa
Adat Batubulan.... 27
Gambar 4.... Motif
Hias Bhadawang Nala, Naga Anantabhoga, dan Naga Basuki yang menghiasi Padmasana
di Pura Puseh Desa Adat Batubulan........................................ 31
Gambar 5.... Motif
Hias Karang Gajah/asti kombinasi dengan patra punggel 31
Gambar 6.... Motif
Hias Karang Guak dan Karang Simbar.......................... 32
Gambar 7.... Motif
Hias Karang Tapel kombinasi dengan patra punggel..... 32
Gambar 8.... Motif
Hias Karang Bentulu kombinasi dengan patra punggel. 33
Gambar 9.... Motif
Hias Garuda.................................................................... 33
Gambar 10.. Motif
Hias Keketusan (kakul-kakulan)..................................... 34
Gambar 11.. Motif
Hias Keketusan (emas-emasan)...................................... 34
|
Harrah's Casino, Biloxi - MapyRO
BalasHapusHarrah's Cherokee Casino Resort 전라북도 출장샵 features more than 2600 대구광역 출장마사지 slot 부천 출장샵 machines, 70 table games, a poker room, a spa, bowling 하남 출장안마 alley, live entertainment and 7 화성 출장안마 restaurants.